NYEPI DALAM KONTEKS PENGENDALIAN DIRI MASYARAKAT BALI DULU DAN KINI


Tahun Saka ditetapkan sebagai peringatan atas penobatan Raja Kanishka I dari dinasti Kushana pada tahun 78 Masehi. Pusat kerajaannya bernama Purusapura, sekarang Peshawar di Pakistan. Kerajaannya membentang dari Gandhara (sekarang Afganistan)   ke Asia Tengah. Dan pengaruhnya sampai ke Cina, Tibet dan Jepang. Raja Kanishka I beragama Hindu. Tetapi ia tidak memakai agamanya sebagai agama negara. Ia membina semua agama yang ada, yaitu Hindu dan Buddha beserta sekte-sekte masing-masing. Karena sikapnya yang arif dan bijaksana, tidak mengutamakan agama satu dari yang lain dalam politik pemerintahan, maka terciptalah toleransi, hubungan yang harmonis antara berbagai pemeluk agama yang menjadi warga negaranya. Baginda raja tida saja menyelenggarakan sidang-sidang pemerintahan juga mendorong terselenggaranya Mahasabha (Sidang Raya) atau Pesamuhan Agung Keagamaan, baik untuk agama Hindu maupun agama Buddha demi memelihara kerukunan dan toleransi kehidupan beragama. Pada masa itu muncul tokoh-tokoh besar seperti Nagarjuna (eksponen doktrin Budha Mahayana), ahli pikir Aswaghosa, Parswa, Wasumitra, Sangharaksa, Chareaka (seorang dokter), Mathara (pemikir strategi politik), Agesilaus (insinyur keturunan Yunani), raja Sakhara (penyair dan penyusun kitab Kawyamimansa), dan lain-lain. Untuk menghormati kebesaran jiwa Raja Kanishka I inilah tarikh Saka ditetapkan. Dengan demikian perayaan pegantian tahun Saka merupakan peringatan atas suatu peristiwa sejarah. Sejak ditetapkannya tahun Saka ini oleh Raja Kanishka I ini telah membuka jalan bagi perkembangan dan kemajuan kebudayaan dan agama sehingga India menjadi salah satu pusat penyebaran agama dan peradaban manusia di seluruh dunia. Tahun ini pula dipergunakan sampai ke India Utara yang sebelumnya mempergunakan tahun Candra, demikian pula di India Timur bahkan terus berkembang sampai di Nusantara termasuk Bali. Sejak itu terjadilah pembauran perhitungan tahun antara tahun Saka (yang memakai perhitungan Surya) dengan tahun yang memakai perhitungan Candra, yang lazim disebut dengan “Luni-Solar System”. Tahun Saka sebagai satuan waktu tidak berbeda dengan tahun-tahun yang dimiliki oleh agama lain, seperti tahun Hijriyah, tahun Masehi. bahkan tidak berbeda dengan tahun-tahun yang dimiliki oleh bangsa lain. Bangsa Cina dan Jepang misalnya memiliki tahunnya sendiri. Masing-masing agama atau bangsa memperlakukan pergantian tahunnya secara berbeda. Di India, sekalipun tahun Saka telah ditetapkan sebagai tahun nasional sejak tahun 1958, yang tahun barunya jatuh tiap tanggal 22 Maret, umat Hindu di India tidak merayakannya secara khusus. Di Indonesia, pergantian tahun Saka diberikan muatan relegius. Tahun baru Saka menjadi hari suci Nyepi. Jadi Nyepi memiliki dua dimensi. Dimensi waktu dan dimensi agama atau tepatnya dimensi ritual (pencerahan hati nurani).

Makna Ruang dan Waktu Ruang dan waktu adalah sarana bagi proses perkembangan manusia. Demikianlah Tuhan menciptakan masa lalu, masa kini dan masa depan. Masa lalu memberikan kita pengalaman. Masa kini memberi kita kesempatan untuk bertindak. Masa depan memberi kita harapan. Makna dari ketiga waktu itu sangat penting bagi kita yang percaya pada hukum karma dan reinkarnasi. Hidup kita sekarang merupakan akumulasi dari pengalaman hidup kita sebelumnya. Masa depan kita tidak terbatas. Kita memiliki bukan satu kehidupan, tetapi satu rangkaian kehidupan. Makna waktu berbeda bagi mereka yang percaya pada doktrin predestinasi, yang percaya bahwa hidup dan keberadaan manusia sepenuhnya ditentukan oleh Tuhan. Waktu baginya adalah saat untuk melaksanakan skenario Tuhan. Waktu adalah saat Ki Dalang memainkan wayangnya. Pengalaman kesempatan bertindak, dan pengharapan tidak memiliki makna bagi wayang. Memakai pengertian Eric Fromm, mereka yang percaya pada doktrin predestinasi memiliki hidup yang sepenuhnya dijadikan oleh Tuhan. Bagi kita yang percaya pada hukum karma dan reinkarnasi, hidup adalah proses menjadi. Waktu adalah kesempatan bagi kita untuk menjalani proses itu. Waktu mengajari manusia satu hal penting. Waktu terus mengalir. Demikian pula hidup kita terus mengalir. Tetapi waktu hanya mengalir ke satu arah, ke depan! Demikian hidup kita? Sungai karena kodratnya dengan tekun terus mengalir ke laut. Tetapi kemanakah hidup kita menuju? Tujuan akhir manusia, menurut agama Hindu adalah Moksa, Manunggaling kawula lan gusti. Bersatunya Atman dengan Brahman. Hidup kita menuju sangkan paraning dumadi, asal dari kehidupan. Ada tiga jalan utama yang disediakan untuk mencapai tujuan itu; jalan pengetahuan (Jnana Marga), jalan cinta kasih (Bhakti Marga) dan jalan kerja (Karma Marga). Menurut Arvind Sharma, guru besar perbandingan agama dari Universitas McGill, Kanada, jalan yang cocok untuk zaman ini adalah Karma Marga. Sebab dalam Karma Marga sudah terkandung unsur Jnana dan Bhakti, sebagaimana dipraktekkan oleh Mahatma Gandhi. Namun sebelum mencapai tujuan akhir ini, ada tiga tujuan lain yang juga sangat penting yang harus dicapai manusia, yaitu Dharma, Artha, dan Kama. Apabila orang tidak menghendaki dirinya dilanda dan hanyut menuju kemerosotan dari suksma menjadi sthula (materi), maka pikiran dan perbuatan haruslah dikendalikan dengan dharma. Tiga yang pertama tujuan kehidupan (triwarga) yang terdapat di jalan prawrtti ialah dharma, artha dan kama.1. Dharma  Dharma artinya sesuatu yang mesti dipegang erat-erat, misalnya ialah hukum, kebiasaan, adat-istiadat, agama, kasih sayang, kebenaran, keadilan, kewajiban, prestasi dan moralitas. Jadi dharma itu tidak lain dari prinsip-prinsip yang utuh dan kekal (sanatana) yang menyangga seluruh alam semesta ini menjadi satu kesatuan, baik pada bagian-bagiannya maupun pada keseluruhannya, hidup atau mati. “Sesuatu yang menunjang dan mempersatukan seluruh makhluk di alam semesta disebut dharma”. “Dharma dicanangkan untuk menciptakan dan memberikan keutuhan hidup. Dharma itu menunjang dan memelihara. Karena dharma itu menunjang dan mempersatukan, maka ia disebut dharma. Dengan dharma umat manusia dipertahankan”. Jadi dharma itu bukan merupakan aturan bikinan (artificial), tetapi merupakan kaidah (prinsip) untuk hidup benar. Ciri-ciri dharma, sama dengan ciri-ciri kebaikan, yaitu perilaku yang baik (achara), melalui perbuatan baik itu dharma itu diwujudkan sehingga dicapailah kemashuran secukupnya di dunia ini dan di alam-alam selanjutnya. Landasan dari sanatana dharma ialah revelasi (shruti) seperti tercantum di dalam sastra-sastra, seperti Smrti, Purana dan Tantra. Dharma artinya agama, dharma juga berarti kewajiban-kewajiban. Memahami kewajiban, memahami agama merupakan landasan bagi hidup bermoral.2. Artha Artha berarti benda atau sarana yang dapat memuaskan naluri dan juga berarti tujuan hidup harta benda dan kekayaan. Pengertiannya secara luas ialah sarana yang dibutuhkan untuk menunjang kehidupan ini dalam pengertian biasa berarti makanan, minuman, uang, rumah, tanah, dan berbagai bentuk kekayaan yang lain; lebih lanjut itu juga berarti segala sesuatu yang dapat memuaskan keinginan luhur, seperti kekaguman terhadap keindahan, pemujaan, di mana untuk itu pun artha diperlukan. Bantuan yang diberikan kepada orang lain, dalam bentuk apa pun, itu pun artha. Jadi tegasnya, artha itu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk memuaskan keinginan, yang sifatnya rendah atau tinggi. Untuk kebahagiaan dan ketentraman hidup di dunia ini, dorongan keinginan itu hendaknyalah dorongan keinginan yang baik dorongan yang mengakui bahwa manusia harus tunduk kepada dharma maka demikian itu pula halnya dengan benda-benda yang dicari untuk memuaskan keinginan tersebut, benda-benda pemuas itu pula harus dikendalikan oleh dharma. Ketika sedang menempuh prawritti marga, triwarga harus dipupuk juga dengan penuh keseimbangan, karena orang yang keranjingan kepada salah satu saja dari unsur triwarga itu yang tidak dibenarkan (dharmmartha kamah samanewa sewyah yo hyekasaktah sa jano jagha nyah).3. Kama Kama ialah dorongan keinginan (nafsu) dan dapat diterjemahkan dengan kata naluri, nafsu dan keinginan, seperti misalnya dorongan keinginan untuk menikmati kekayaan, kesuksesan, keluarga, kedudukan, atau bentuk-bentuk lain kesenangan untuk sediri maupun untuk orang lain. Adapun naluri yang sangat kuat mempengaruhi jiwa mahluk hidup terutama manusia, yaitu lapar, dahaga  dan nafsu birahi (sexual impulse). Selain dari pada itu yang tiga jenis naluri, nafsu atau keinginan ini terdapat juga naluri yang lain pada jiwa manusia sebagai takut, marah, senang dan keinginan-keinginan untuk mendapat serba benda, kepuasan duniawi dsb. Kama juga mendorong manusia untuk menikmati dan memiliki hal-hal yang bersifat besar dan mulia, keinginan atau ambisi untuk memiliki hal-hal sedemikian itu merupakan ciri betapa besarnya jiwa itu. Keinginan, apakah tingkatnya tinggi atau rendah, haruslah diatur, dan manusia dikendalikan oleh dharma yang mengatur kehidupannya. dalam kerangka Dharma, Artha dan Kama memperdalam bobot spiritual manusia. Agama hindu sama sekali tidak mengabaikan kehidupan duniawi. Kehidupan duniawi ini (dharma, Artha dan Kama) merupakan syarat untuk mencapai Moksa.
4. Moksha Dari empat tujuan itu, moksha atau mukti merupakan tujuan sejati dan terakhir. Tiga tujuan yang lain itu masih dihantui oleh berbagai bentuk kekhawatiran, dan kematian sebagai keakhirannya. Mukti berarti “membuka ikatan” atau membebaskan. Jiwa dibebaskan dari ikatan samsara, ikatan dari eksistensi phenomenal ini, sehingga dengan demikian menyatu dengan berbagai tingkat kesempurnaan paramatma. Kebebasan sedemikian itu bisa didapatkan dengan sarana pengetahuan spiritual (atmajnana) dan tentu saja pengetahuan sedemikian itu harus terlebih dahulu dilandasi dengan kehidupan moral melalui pelekatan diri kepada dharma. Untuk mencapai sifat kesejatian jiwa itu, pengetahuan itulah yang diperlukan, belum cukup sekedar memiliki moral dan etika itu diremehkan, moral dan etika harus dimiliki terlebih dahulu, tetapi sampai tingkat kesadaran tertentu, moral itupun kehilangan keampuhan untuk melanjutkan perjalanan menuju tujuan yang terakhir ini. Moksa itu merupakan ujung terakhir dari niwriti marga. Triwarga (dharma, artha dan kama) ialah ujung terakhir prawritti marga. Kautilya, atau Canakya, cendikiawan besar Hindu yang hidup kira-kira 2300 tahun yang lalu mengatakan “ Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Bila satu dari keempat hal ini tidak dicapai oleh manusi, maka lahir ke dunia ini hanyalah untuk mati”.
Kontemplasi Dan Proyeksi Lalu apa makna nyepi disini? Mengapa pada hari Nyepi kita tidak boleh bekerja, tidak boleh bepergian, tidak boleh menyalakan api? Simbolik apa yang dikandungnya? Marilah kita bayangkan kita sedang menyusuri sungai dengan rakit. Setelah menempuh perjalanan selama 356 hari, kita berhenti sejenak. Menepi ke pinggir sungai. Rakit ditambatkan. Kita mencari tempat berteduh di bawah pohon yang rindang. Kita melihat ke belakang, menilai kembali ziarah kita. Berapa jauhkah jarak yang sudah kita tempuh? Rintangan apa yang telah kita hadapi? Bagaimana kita menghadapi rintangan itu ? Apakah cara kita mengayuh sudah benar? Setelah mengetahui hasil evaluasi ini, sekarang kita melihat ke depan. Apakah tujuan itu tampak dengan jelas? Apakah arahnya jelas? Jalan mana yang harus kita tempuh untuk mencapai tujuan itu? Berapa jauh jarak yang ingin kita tempuh selama 356 yang akan datang? Bagaimana kita mengayuh agar rakit kita bergerak lebih cepat? Demikian kita membagi perjalanan kita dalam satuan tahun. Di belakang kita ada satu tahun. Di depan kita satu tahun lagi. diantara kedua ruas waktu itu kita ambil satu hari untuk menilai dan membuat rencana. Dalam bahasa sekarang, pada hari itu kita melakukan kontemplasi, refleksi dan proyeksi. Suasana yang hening dan sunyi dibutuhkan agar hal itu dapat dilakukan dengan baik. Perjalanan ke depan adalah ziarah menuju harapan. Tetapi tidak ada kebahagiaan tanpa pengorbanan. Maka kita harus menyiapkan diri, secara jasmani dan rohani, mental dan spiritual. Berbeda dengan air sungai yang mengalir begitu saja, sesuai kehendak alam. Kita harus mengarahkan, mengatur, dan mengendaliakan. Kita tidak ingin tenggelam dalam jeram yang dalam bersama rakit yang kita biarkan hanyut terbawa arus tanpa kendali.
Sepi adalah Awal Penciptaan Sepi adalah awal. Sepi adalah prasyarat bagi penciptaan . Rig Weda dalam sloka penciptaan (Hymn of Creation) mengatakan : Pada awalnya tidak ada yang ada dan yang tidak ada, seluruh dunia adalah energi yang belum terwujud. Yang Satu (Tuhan) bernafas, tanpa nafas, dengan kekuasaanNya sendiri, tiada sesuatu pun di sana. Ayat pertama Kitab Kejadian dari PerjanjianLama mengatakan : Pada mulanya Tuhan menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong ; gelap gulita memenuhi samudera raya, dan roh Tuhan melayang-layang di atas permukaan air.Dalam agama Buddha, bukan Tuhan, mahluk (being) atau substansi tetapi sepi atau Sunyata yang merupakan hakikat kenyataan yang terakhir (Ultimate reality). Segala sesuatu berasal dari Sunyata. Karena Sunyata segala sesuatu menjadi ada. Sepi dalam konsep Hindu, dan Sunyata dalam konsep Buddha bukan sesuatu yang negatif. Seluruh penciptaan, dari penciptaan alam semesta sampai penciptaan sebait puisi berawal dari sepi. Mencipta adalah proses membuat ada dari yang tidak ada. Dengan melompati diskusi filsafat, kehadiran serta kegiatan kita di dunia ini memerlukan satu derajat sepi atau kekosongan. Kita memerlukan tempat kosong bila hendak mendirikan rumah. Air hanya dapat ditaruh dalam gelas yang kosong. Tanpa ruang kosong kita tidak bisa berada di atas bumi ini.
Penciptaan Adalah Kebahagiaan Prasna Upanishad mengatakan : “Pada awalnya Sang Pencipta merindukan kebahagiaan dari penciptaan. Ia diam dalam meditasi, lalu muncullah Rayi, materi (zat) dan Prana, hidup. “Kedua hal ini”, pikir-Nya, “akan menciptakan mahluk-mahluk untukKu”.Chandogya Upanishad mengatakan : Di mana ada penciptaan, di sana ada kemajuan. Di mana tidak ada penciptaan, di sana tidak ada kemajuan   ketahuilah hakikat dari penciptaan.Di mana ada kebahagiaan, di sana ada penciptaan. Di mana tidak ada kebahagiaan, di sana tidak ada penciptaan ; ketahuilah hakikat dari kebahagiaan.Di mana ada yang Tak Terbatas, di sana ada kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan dalam yang terbatas; hanya dalam yang Tak Terbatas ada kegahagiaan; ketahuilah hakikat dari yang Tak Terbatas.Di mana tidak ada sesuatu pun terlihat, atau terdengar, atau diketahui, di sanalah ada yang Tak Terbatas. Di mana ada sesuatu yang terlihat, terdengar atau diketahui di sana ada yang terbatas. Yang Tak Terbatas abadi ; tetapi yang terbatas fana.Kita memulai perjalanan tahun kita dengan sepi, hening dan heneng.

Bersatu Dengan Kesadaran Murni Dalam kehidupan manusia, sepi merupakan bagian yang sangat penting. Deepak Chopra, penulis India yang kini bermukim di Amerika Serikat, yang telah menulis banyak buku-buku best seller, menulis: “Mempraktekkan diam berarti membuat satu komitmen untuk mengambil satu waktu tertentu untuk semata Menjadi (Be). Menjalani sepi berarti secara berkala menarik diri dari aktivitas berbicara. Ia juga berarti secara berkala menarik diri dari kegiatan-kegiatan menonton televisi, mendengar radio, membaca buku. Bila anda tidak pernah memberi kesempatan diri anda untuk mengalami sepi, ini akan menciptakan kekacauan dan keributan dalam dialog internal anda.”“Mengapa kita memerlukan sepi?” kata Chopra lagi, “Hakikat kita (manusia) adalah kesadaran murni. Kesadaran murni adalah potensialitas murni; ia adalah wilayah segala kemungkinan dan kreativitas yang tak terbatas. Kesadaran murni adalah inti spiritual kita. Bersifat tidak terbatas dan tidak terikat, ia juga adalah kebahagiaan murni. Atribut atau nama lain dari kesadaran adalah ilmu pengetahuan murni, sepi tanpa batas, keseimbangan sempurna, yang tak dapat ditaklukkan, kesederhanaan dan wara nugraha (rakhmat)”.Melalui meditasi kita akan belajar mengalami sepi murni dan kesadaran nurani. Dalam lapangan sepi yang murni terdapat korelasi yang tak terbatas, lapangan penyatuan kekuatan/kekuasaan yang tak terbats, landasan terakhir dari penciptaan di mana segala sesuatu dihubungkan secara tak dapat dipisahkan dari segala sesuatu yang lain. Dengan kata lain, dalam sepi jiwa kita (Atman) bersatu dengan jiwa alam semesta (Brahman atau Tuhan).Taittiriya Upanishad mengatakan : “Dia yang mengetahui Tuhan (Brahman) yang adalah Kebenaran, Kesadaran, dan Kebahagiaan Tak Terbatas, tersembunyi di tempat terdalam dari jiwa kita dan di surga yang tertinggi, menikmati segala sesuatu yang diinginkannya dalam persatuan dengan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Dari Tuhan (Brahman) pada awalnya muncul ruang. Dari ruang muncul udara. Dari Udara muncul api. Dari api muncul air. Dari Air muncul tanah yang padat. Dari tanah muncul tumbuh-tumbuhan. Dari tumbuh-tumbuhan muncul makanan dan biji (bibit). Dan dari biji dan makanan muncullah satu makhluk hidup, manusia”.
Mendengar Suara Hati Nurani Melalui aspek waktu kita menilai hasil. Melalui suara hati kita menilai cara. Teknologi modern telah menyediakan kita sarana untuk melakukan komunikasi secara ajaib. Melalui teknologi telekomunikasi kita dapat berbicara dengan orang lain yang berada di ujung dunia yang lain. Melalui teknologi elektronika kita bisa bicara dengan jutaan orang sekaligus. Namun teknologi modern tidak menyediakan kita sarana untuk bicara dengan diri kita sendiri. Malah sebaliknya, teknologi modern telah mempersulit komunikasi itu. Gemuruh suara mesin di jalan dan di tempat kerja, hingar bingar suara hiburan dan banjir informasi dari alat-alat elektronik di rumah, telah membuat telinga batin kita hampir tuli. Tetapi hambatan yang paling besar berasal dari sikap hidup atau nilai-nilai kemodernan. Dua dari padanya adalah nilai efisiensi dan kompetisi. Efisiensi dimaksudkan bahwa semua aktivitas kita harus menghasilkan sesuatu dalam jumlah sebanyak-banyaknya dan dengan mutu sebaik-baiknya. Kompetisi menetapkan yang baik adalah yang menang. Dalam persaingan murni, yang menang adalah yang paling efisien. Mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri dengan kedua nilai-nilai ini. Sikap hidup dan teknologi modern telah bersekongkol untuk merampas waktu kita untuk berdialog dengan diri kita sendiri. Tetapi kita umat Hindu di Indonesia sangat beruntung. Karena hari Nyepi memberikan kita kesempatan penuh untuk melakukan dialog dengan diri kita sendiri. Lalu apa yang kita bicarakan dengan hati kita? Hal-hal sederhana tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap hidup kita. Kita bertanya : “Apakah perbuatan kita selama ini membawa kebaikan kepada orang lain? Atau sebaliknya merugikan orang lain? Apakah karena keberhasilan itu kita telah menjadi sombong?” Pertanyaan-pertanyaan sederhana semacam ini yang harus kita ajukan secara berulang-ulang. Kemudian kita harus menunggu jawabannya dengan sabar. Suara hati itu sangat halus getarannya. Makin tebal keserakahan dan kesombongan menutupi hati kita makin sulit suara itu terdengar. Sebaliknya semakin bersih hati kita akan semakin jernih suara itu kedengaran. Dalam masyarakat modern Nyepi semakin relevan dan bagaimana aktualisasinya?
Nyepi : Surya Dan Sunya Hari raya Nyepi yang jatuh pada “pananggal ping pisan sasih Kadasa” (pratipada sukla Waisaka) adalah hari tahun baru Saka. Hari raya Nyepi disambut dengan pelaksanaan Brata – penyepian terangkai secara utuh dan tak terpisahkan dengan pelaksanaan bhutayajna (pacaruan) yang dilaksanakan sehari sebelumnya yaitu pada Tilem Kasanga (tilem Caitra). Dengan demikian Hari Raya Nyepi tidak sekedar pergantian tahun (saka), akan tetapi dilandasi oleh nilai-nilai spritual : wawasan kesemestaan dengan melihat posisi surya dan cadra, renungan tentang ruang dan waktu sebagimana tertuang dalam pelaksanaan bhutayajna (persembahan kepada bhuta dan kala), pelaksanaan ajaran yoga dengan melaksanakan yama-niyamabrata, membangun visi dan spirit untuk menhadapi masa yang akan datang, terlebih lagi kata “sepi atau sunya” adalah sebuah kata kunci dalam ajaran agama Hindu yang mengandung makna kesempurnaan (purna). Oleh karena itu Nyepi senantiasa menyajikan bahan renungan kepada kita, lebih lanjut mendorong kita lebih mendalami ajaran agama Hindu.
Nyepi : Surya Dan Candra Pada tanggal 21 Maret dalam tahun biasa, tanggal 22 Maret pada tahun Kabisat, dalam perhitungan astronomi matahari tepat berada di atas khatulistiwa. Atau pada saat itu sumbu bumi membuat sudut 90 terhadap poros bumi-matahari, sehingga kutub utara dan kutub selatan terletak sama jauh dengan matahari. Akibatnya ialah lamanya waktu siang sama dengan lamanya waktu malam. Matahari pada saat itu disebut berada pada titik okinoksi, artinya waktu siang sama dengan waktu malam, yaitu 12 jam. Oleh karena itu, pada tanggal 22 Maret 79, Raja Kaniska I menetapkannya sebagai tahun Saka. Pada saat itu (sehari sebelumnya) juga bertepatan dengan terjadinya gerhana matahari total. Sebagaimana diketahui pada saat gerhana (baik gerhana matahari/suryagraha, maupun gerhana bulan/candragraha), matahari – bulan – bumi berada dalam satu garis lurus. Oleh karena itu gerhana matahari jatuh pada tilem dan gerhana bulan jatuh pada hari purnama. Dengan demikian penertapan Tahun Baru Saka tidak hanya melihat posisi matahari (surya pramana), tetapi juga posisi bulan (candra pramana), oleh karena itu saat itu disebut dengan sura – candra pramana. Atau lebih tegasnya penentuan perhitungan Tahun Baru Saka mempergunakan perhitungan astronomi Hindu (jyotista) yaitu dengan memperhatikan posisi matahari, bumi dan bulan. Berkenaan dengan uraian diatas umat Hindu dalam setiap penentuan dalam pergantian tahun selalu memperhatikan situasi dan kondisi yang terjadi pada alam dalam hal ini dengan memperhatikan gejala benda-benda yang ada di langit berupa sinar-sinar (divine), oleh karean itu muncul istilah atau kata Dewa (dari div berarti bersinar). Umat Hindu pada hakekatnya dalam pencerahan hidupnya, membnagun dirinya ingin menjadi divine man yang selanjutnya membangun divine society (dalam diri manusia, masyarakat dan lingkungannya yang memancarkan sinar suci Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang secara etis manusia Hindu ingin melenyapkan sifat-sifat kegelapan dalam dirinya (asuri sampat) dan mencari serta memupuk sifat-sifat kedewaan (daiwi sampat) sehingga mendapatkan divine god yang akan melahirkan manusia / putra yang abadi (amrestyah putra). Inilah landasan yang sangat esensial bagi pembangunan manusia dan peradaban Hindu. Tuhan Yang Maha Kuasa adalah realitas absolut (abadi) oleh karena itu beliau disebut sebagai “Sangkan paraning dumadi” (dari mana dan hendak ke mana manusia pergi), atau menjadi pusat orientasi kehidupan manusia. Dengan demikian Surya adalah simbol sesuatu yang abadi, maha cahaya, oleh karena itu simbollis umat Hindu menjadikannya sebagai sthana Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan Upacara/Upakara menyambut Hari Raya Nyepi, yaitu merupakan pelaksanaan Bhuta Yajna yang dapat kita ketahui bahwa Bhuta Yajna pada hakekatnya bermakna Penyucian Bhuwana yang terbangun oleh Panca Maha Bhuta (Pratiwi, Apah, Teja, Bayu, Akasa) dan Panca Tanmatra (Gandha, Rasa, Sparsa, Rupa, Sabda). Bhuwana yang harmoni dan suci (Jagadhita, Bhutahita) diharapkan dapat memberi kerahayuan bagi hidup manusia, karena manusia menjadikan unsur-unsur tersebut sebagai objek indriyanya (Dasendriya). Umat Hindu sangat mendambakan kerahayuan, keharmonisan dalam hidup, keseimbangan ekosistem, keseimbangan unsur-unsur yang membangun Bhuwana Alit dan Bhuwana Agung yang nanti pada gilirannya akan memberikan kerahayuan dan kedamaian. Dengan demikian umat Hindu memiliki wawasan kesemestaan, wawasan alam raya, wawasan globalisasi yang berarti wawasan umat Hindu tidak sempit (asorohan-awatekan). Umat Hindu sebagaimana diajarkan oleh agamanya yang tertuang dalam Kitab-kitab Sucinya sangat memperhatikan dari lingkungan yang terkecil samapi jagad raya, memperhatikan gerakan alam raya (posisi matahari/surya), bulan (candra), serta bumi (bhumi) dengan mempersembahkan keharmonisan itu berupa Bhuta Yajna (Bali Karmana – Bali Krama).
Nyepi : Sunya Dalam persembahan keharmonisan berupa Bhuta Yajna yang berarti memiliki makna penyucian Bhuwana, yang dimulai dengan acara melasti/mekiis atau melis yang disebutkan dalam Lontar Sundarigama :“Ikang pwa ya triya dacin ikang krsa paksa lalastyakna ikang pratime, yogan ira Sanghyang Tiga Wisesa, Iwirnya : Desa, Puseh, Dalem, parengakna sarwa arca, pratime Dewa-dewa Parhyangan medalakna kabeh, hingayon ring segara, iniring dening mwang sakrama desa kabeh, saha widhiwidana, mangga rarapan ring Sanghyang Baruna, telas lebur ring samadya, telah tingkah sakramanya, hantukna punang pratime, wus mangkana, hantukana maring yoga ira swang-swang. Apa matangian samangkana ? Apan yeka wwang, agung dosa wwang mangkana, matangnya inusak-asik wwang mangkana eweh sang pradipati rusak kaprabon Sri Aji, sasab mrana magalak, bhutakala mewengis, inisep ranging janama kabeh, sinamet sira sya amrtanya, dewadwan ira Sanghyang Adiakala, Siapa mandadi ika, kalinganya, Bhatara Wisnu mari marupa Dewa, matemahan Kala Bhatara Brahma maweh sarwa Buchari, desti, teluh, tranjana, Bhatara Iswara agung sasab mrana, ika amicara dahat, ngrugaken sapraja mandala, ndah samangkana aja papeka ranak ingsun ring warah-warah mami. Kunang riteles kelaksanan, mulih hayuning praja mandala sarat kabeh, teka ring sarwa janma. Wastunin paripurna, terang galang apadang bhawan ikang sarwa mahurip. lunas iakng sarwa tumuruh, sasab mrana pada mantuka ring samudra”.Artinya : Demikian pula halnya pada bulan panglong ke-13 sebelum Tilem Kasanga, hendaknya dilakukan pesucian bagi pratima, yang menjadi lambang dari Sanghyang Tiga Wisesa, “ Pura Puseh, Desa dan Dalem. Disamping itu segala arca-arca yang menjadi simbol lambang dari Linggan para Dewa-dewa yang di Parhyangan. Ini semua dikeluarkan dan disucikan di laut, serta diiringi oleh krama desa semua yang tergabung dalam Desa Adat setempat. Pada kesempatan ini dilakukan pula pewhidi-widanan, suguhan, aturan yang dihaturkan kepada Sanghyang Baruna guna memohon anugerah agar musnahnya segala bentuk kesengsaraan dunia, dan semua penderitaan lebur di dalam lautan. Setelah selesai penyucian di pantai maka kembali ditempatkan di Bale Agung dan diupacarai sebagaimana mestinya. Setelah selesai diupacarai maka barulah dikembalikan ketempat masing-masing atau disthanakan di parhyangan masing-masing. Apabila hal ini tidak dilakukan akan menyebabkan kacaunya desa pakraman, dan akan mendapatkan gangguan dengan berbagai macam penderitaan yang dala hal ini Sang Adikala berhak menghukum krama desa tersebut dan menyusahkan Sanghyang Tiga Wisesa. Kalau kita bertanya mengapa hal ini terjadi ? Karena, Bhatara Wisnu (yang bersifat memelihara), berubah wujud menjadi kala (dewa pemusnah), Bhatara Brahma (yang bersifat pencipta) akan menciptakan Buchari Desa (mahluk yang berbisa), desti, teluh, tranjana (penyebab kesedihan manusia), dan Bhatara Iswara (bersifat menyempurnakan), akan berwujud penyakit yang merajalela dan mengerikan. Dan hal yang terakhir inilah yang paling membahayakan, karena dapat menyebabkan dunia terbasmi apabila dikehendakinya. Demikian halnya, wahai para pendeta anakku, janganlah lupa terhadap hal-hal yang demikian, seperti ajaran-ajaran yang aku utarakan. Apabila semua itu dapat terlaksana dengan baik maka kembalilah keselamatan dunia ini, termasuk pula keselamatan seluruh mahluk yang ada di dunia ini. Dengan demikian, menjadi sempurna dan sucilah wibawa dunia ini, sejahtera, suburlah segala tumbuh-tumbuhan, karena penyebab penyakit yang merajalela itu telah dilebur kembali dalam lautan.“Atta ring cetra masa, Tilem kunang, sasucening watek Dewata kabeh, hana ring telenging samudra, met sarining amrta kamandalu, yogya mwang kabeh ngaturaken puja krti, ring sarwa dewata, kayeki kramania. Catur daci ikang krsna paksa, agawyaken Bhuta Yajna, rikang catus pataning desa, nistania pancasata, madyama pancasanak, utamania Tawur Agung Yamaraja, pinuja dening Sang Mahapandita, Siwa Budha sakawu-kawu kunang sega mancawarna, 9 tanding, iwak sakta brumbun rinancana, saha tabuh tok, arak, genahing acaru ring dengen, sambut Sang Bhutaraja mwang Sang Kalaraja. Mwang balapan sasah 108 tanding iwaknia jejeron mentah, segehan agung 1. Sorenya gelarakena ikang Bhuta Kala kabeh angunduraken sasah merana. Srana obor-obor, gni saprakpak, sembur masuwi, mantra dening sarwa tatulak wisya, mwang panyengker Agung, iderin saumah dening gni ika, telas mangkana ikang mwang sajalwistrinia, abyakala ing natar, ayabin sesayut pamyakala, lara malaradan prayascita. Enjangnia anyepi mati geni ika tan wenang anyambut karya salwirnia, mwang agni-agni kunag, ri saparaning genahnia, Gelarakna yoga semadi”.Artinya : Tersebutlah menjelang sasih Kasanga (Maret), yang disebut “cetramasa” terutama pada bulan mati (tilem), adalah hari untuk menyucikan para Dewata semua, di laut guna mendapatkan hakekat air yang suci yang memberikan kehidupan yang abadi. Karena itu seyoganyalah seluruh umat (Hindu) menghaturkan puja bakti kehadapan para dewata, dengan tata cara sebagai berikut :Pada panglong ping 14 sasih Kasanga, hendaknya melakukan upacara bhuta yajna (Pacaruan), di perempatan Desa pakraman (desa adat). Adapun tingkatan-tingkatannya adalah : sekecil-kecilnya/nista dengan caru Pancasata (5 ekor jenis ayam), tingkatan menengah/madya dengan pancasanak (dasar 5 ekor jenis ayam ditambah itik bulu sikep sebagai ulu), sedangkan tingkatan besar/utama, ialah dengan tawur agung (Panca Bali Krama), yang memakai Yamaraja. Bhuta Yajna tersebut dipuja oleh Sang Mahapandita (Sulinggih Siwa, Budha). Dalam pekarangan rumah dilakukan upacara pasuguh-suguh, yang berbentuk segehan mancawarna, banyaknya sembilan tanding, dengan ayam brumbun yang diolah, petabuh tuak dan arak. Adapun caru tersebut diupacarakan di dengen (di muka pekarangan rumah), yang disuguhkan kepada Sang Bhutakala dan Sang Kalabala yang diberi suguhan dengan segehan nasi sasah 108 tanding, berisi jejeron mentah, serta segehan agung satu tanding. Pada saat menjelang sore hari (sandyakala) tawur tersebut dilaksanakan semuanya. Apabila tawur itu selesai, barulah dilakukan pengrupukan yang bertujuan mengembalikan (somya) Bhutakala serta membatalkan usahanya membuat marabahaya. Adapun alat lain yang diperlukan ialah obor dengan membawa api seprakpak, sembur dengan mesuwi yang iantar dengan puja mantra penolak bala (mara bahaya), mantra Panyengker Agung, dengan mengelilingi pekarangan rumah dengan arah prsewya. Setelah selesai maka umat (Hindu) seluruhnya melakukan upacara abyakala di tengah-tengah pekarangan serta natab sesayut pamyakala, lara malaradan dan prayascita.Kemudian pada keesokan harinya secara khusus dilakukan “penyepian” dengan melakukan Brata Penyepian. Brata Penyepian yang merupakan upaya nyata untuk menguasai dan mengendalikan diri, sebagai cermin kearifan serta mutu kemandirian umat (Hindu) yang terdiri dari :amati geni (tidak menghidupkan api / lampu dan tidak boleh mengumbar / mengobarkan nafsu),amati karya (tidak melakukan kegiatan / bekerja secara fisik melainkan tekun melakukan penyucian rohani),amati lelungan (tidak bepergian kemana-mana, melainkan senantiasa mulat sarisa/mawas diri di rumah serta melakukan pemusatan pikiran, astiti bakti kehadapan Ida Hyang Widi Wasa dalam berbagai prabawanya),amati lelanguan (tidak mengadakan hiburan / rekreasi atau bersenang-senang lainnya).
Artinya umat Hindu diharapkan melakukan ajaran agamanya yang terpenting yaitu : Tapa, Brata, Yoga dan Semadi ; dengan mengadakan pemusatan pikiran kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa. Dalam keheningan hari raya Nyepi, umat Hindu berharap dapat membuka, mengembalikan kesadarannya bukan saja dengan memperhitungkan segala perbuatan yang telah dilakukan dalam setahun yang lalu, tetapi yang sangat penting adalah merenungkan Kemahakuasaan Hyang Widhi yang merupakan kebesaran Jagad Raya ini. Pada hari raya Nyepi umat Hindu berharap dapat memasuki alam Sunyata, alam yang sempurna nan hening dan heneng, yang juga sangat indah.
Dalam kekawin Dharma Sunya buah karya Danghyang Nirartha disuratkan: //ambek sang wiku siddha tan pakahingan tamutuga ri kamurtining taya/tan linggar humeneng licin mamepekin bhuwana sahananing jagat raya/norang lor kiduling kidul telas hane sira juga pamekas nirarsraya/kewat kewala sunya nirbana lengong luput inangen-angen winarna ya //Artinya : bathin seorang maha pandita adalah tidak terbatas lagi, beliau telah dapat menjangkau alam tertinggi/bhatinnya tidak terpencar lagi, tenang, halur dan menyusupi seru sekalian alam/sebutan utara – selatan, telah tidak ada padanya, hal itu disebutkan hakikat nirarsrata/langgeng, berbadan sunya yang sempurna, indah, dan sangat sukar memikirkan dan menggambarkannya //Pada bagian lain kekawin Dharma Sunya ini menyuratkan bahwa bathin seorang mahayogi, mahamuni, atau mahakawi, artinya dia telah memasuki alam Sunyata, adalah laksana samudera cemerlang tanpa noda, bebas dari ikatan dan telah menikmati sari-sari keindahan. Ia bagaikan seorang maha pandita yang nyata-nyata sebagai lingganya dunia, bagaikan nyala api pemujaan hasil karyanya membawa terang dimana-mana. Dan banyak lagi sejumlah karya sastra yang secara eksplisit menyebutkan Sunya seperti Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa dll.Yang terpenting dalam kajian sastra tersebut dapat disimpulkan bahwa Sunya tersebut adalah kesadaran ketika telah bersatu dengan Paramasiwa. Sunya adalah kesadaran Paramasiwa, Kesadaran ketika telah menikmati bhoga paramasiwa sehingga para pengawi terutama pada bagian pemujaan kekawin ini Danghyang Nirartha memuja Paramasiwa sebagai Sang Hyang Sekalatma, berarti jiwa dari segala yang hidup. Paramasiwa dilukiskan sebagai “Sang Saksat pinakesti ning manah aho”’ Ia yang tak ubahnya sebagai isi alam pikiran suci, dan “Sang mawak ring tuturku”’ Ia yang mewujudkan alam kesadaranku. Kepada “Ia” yang ada di dalam diri sang pengawi tersebut.Demikian alam sunya adalah merupakan tujuan ideal umat Hindu. Tujuan ideal atau tujuan yang tertinggi tersebut diyakini dapat tercapai apabila melalui latihan-latihan yang terus menerus. Itulah sebabnya agama Hindu memberi kedudukan terpenting pada ajaran Tapa, Brata, Yoga dan Semadi, serta melakukannya secara bersamaan pada hari Nyepi.
PenutupPada hari Ngembak Geni, umat Hindu memasuki lembaran kehidupan yang baru. Semangat baru untuk mengarungi kehidupan baru yang lahir dari hasil perenungan di Hari Raya Nyepi. Secara simbolis pada hari ini umat Hindu telah menemui Api (Agni) setelah menggosok dua potong kayu (makusu) di hari Nyepi.

Lontar Sundarigama :….. Ikang pwa ya triya dacin ikang krsna paksa lalastyakna ikang pratime, yogan ira Sanghyang Tiga Wisesa, Iwirnya : Desa, Puseh, Dalem, parengakna sarwa arca, pratime Dewa-dewa Parhyangan medalakna kabeh, hingayon ring segara, iniring dening mwang sakrama desa kabeh, saha widhiwidana, mangga rarapan ring Sanghyang Baruna, telas lebur ring samudra, telah tingkah sakramanya, hantukna punang pratime, wus mangkana, hantukana maring yoga ira swang-swang. Apa matangian samangkana ? Apan yeka wwang, agung dosa wwang mangkana, matangnya inusak-asik wwang mangkana eweh sang pradipati rusak kaprabon Sri Aji, sasab mrana magalak, bhutakala mewengis, inisep ranging janama kabeh, sinamet sira sya amrtanya, dewadwan ira Sanghyang Adiakala, Siapa mandadi ika, kalinganya, Bhatara Wisnu mari marupa Dewa, matemahan Kala ; Bhatara Brahma maweh sarwa Buchari, desti, teluh, tranjana ; Bhatara Iswara agung sasab mrana, ika amicara dahat, ngrugaken sapraja mandala, ndah samangkana aja papeka ranak ingsun ring warah-warah mami. Kunang riteles kelaksanan, mulih hayuning praja mandala sarat kabeh, teka ring sarwa janma. Wastunin paripurna, terang galang apadang bhawan ikang sarwa mahurip, lunas ikang sarwa tumuwuh, sasab mrana pada mantuka ring samudra,
Lontar Sundari gama :….. Atta ring cetra masa, Tilem kunang, sasucening watek Dewata kabeh, hana ring telenging samudra, met sarining amrta kamandalu, yogya mwang kabeh ngaturaken puja krti, ring sarwa dewata, kayeki kramania. Catur daci ikang krsna paksa, agawyaken Bhuta Yajna, rikang catus pataning desa, nistania pancasata, madyama pancasanak, utamania Tawur Agung Yamaraja, pinuja dening Sang Mahapandita, Siwa Budha sakawu-kawu kunang sega mancawarna, 9 tanding, iwak sakta brumbun rinancana, saha tabuh tok, arak, genahing acaru ring dengen, sambut Sang Bhutaraja mwang Sang Kalaraja. Mwang balapan sasah 108 tanding iwaknia jejeron mentah, segehan agung 1. Sorenya gelarakena ikang Bhuta Kala kabeh angunduraken sasab merana. Srana obor-obor, gni saprakpak, sembur masuwi, mantra dening sarwa tatulak wisya, mwang panyengker Agung, iderin saumah dening gni ika, telas mangkana ikang mwang sajaluistrinia, abyakala ing natar, ayabin sesayut pamyakala, lara malaradan prayascita. Enjangnia anyepi mati geni ika tan wenang anyambut karya salwirnia, mwang agni-agni kunang, ri saparaning genahnia, Gelarakna yoga semadi …..

Lontar Tutur Wiksu Pungu  (27a, 28a,b) :Ikang mangkana kramania, ya geng sangsaya, sakeng sangsaya, metu taha sakeng taha metu hana nora ya atemah mala di teka angliput, ya mulania metu kawah ing bumi mwang sarira, palaning tan wruh ri rasaning yoga kadiananika sari-sari, lawan rasaning puja mantra, japa lawan ajnyanasandi makdi tang samadi, sawaking yajna sang Resiwara mwang sasajining sang mataki-taki, dharmani bratanira, ya tan kawruhana prayogi rehni mulaning pasuk wetunia ikang byakta siji sowang amoga ya kapwa nispadon, apan tan wruh ri tungtung bungkahing sembah ngarania, mangde kroda agalak tang buta papat sanak, ikang ngaran Drembamoha, Kala Wisaya, Kala Katungkul, Kala Ngadang.
Si Drembamoha ngaranika, hingsakarma swabawania ring pajagalan, yatika anuntun ikang janma manusa jenek anginum sada awre kasukan ing atinia sakala jagat, tan atutur ing temah dosa ageng kapangguha.
Ikang Kala Katungkul ngarania, gawenika sada anuntun mareng peken ageng jenek atutuku haneng saisining pasar, mameta sarwa boga-upaboga, sandang anggo, sing anute rikang ati, ya welian anamtani sarwendriya.
Ikang Kala Wisaya ngarania, gawenia asiang sadakala ya anuntun mareng pajudian, jenek ing atoh-tohan alah menang, angadu sawung kasukania, tan enget I palania wekasan anemu duhka, sada kala agawe ewuh, kapenetan mosek ing kala ri sakala jagat, ya wastuning guna dosa ngarania.
Ikang Kala Ngadang ngarania, gawenia anuntun laku-laku mider ing marga agung, jenek anonton angeungu lagu-lagu gending ronji, makadi sakwehing tabuh-tabuhan umung gumuruh, anamtani indriyanikang suku karma panon swabawania, ya mangde dosa mageng, ngaraning mosah asekel kahanan prihati manastapa anangising kang karenge mwang tinonia, ya ametwaken welas arep lawan asih ikang wwang tresnang wisaya, tan wruhing deya pwa ya malahaken ya, pada ageng ta ya, muda punggungnia hetuning muda-idepan. (28.A)
Mangkana swabawania wwang pramada rasaning aji ikang sayogya pituhun, tapwan tutakna. Ika ta kabeh twi ya kapat macatura denia anuntun yan pareng dosagrahi, ri denian kapwa sowang-sowang kasukanieng caturbhuwana, pada ahyun katutana denikang wwang, tan hana gamantanian hyun matuta alius asanak, sada wyadi wigraha apasah karepanika ngken sarira dawak, apan ulahnia kapat ya amrih katutana.
Ikang sinanggeh Drembamoha masu yan dudut mareng pascima desa, Si Kala Wisaya andudut mareng purwa desa, Si Kala Katungkul andudut mareng daksina desa, Si Kala Ngadang mandudut mareng uttara desa.
Mangkana denia ahyun sowang-sowang arania, yan tan wruh prayogani hyunikang papatsanak, mwang kasukanika siji sowang manut ing kala desaning ulahnia, ngaraning wruh anut tan katutana wolahnia sowang-sowang. Twin si widagda ya angadeg ing tengahnieng kapatnia riking bhuwana mwang sarira, langgeng tan angidul tan angalor tan angetan tan anglwan, tan amingsor tan amingluhur, sira angadeg tan kena binancana tan kena ginigah-gugah. (28.b)

Leave a comment

Filed under Articles

Leave a comment