Forum Kerukunan


PERANAN TOKOH ADAT, AGAMA DAN MASYARAKAT DALAM UPAYA PENCEGAHAN PAHAM RADIKALISME, BERBASIS KEARIFAN LOKAL SERTA NILAI-NILAI BUDAYA BALI

Ida Pedanda Gde Wayahan Wanasari

QUESTIONS FOR DISCUSSION

• Religions are often accused of being co-opted by the powers-that-be to achieve their selfish ends. Do you agree or disagree? Please state your reasons!

• How does religion, which speak of love, compassion and mercy, also become a tool for violence?

• All religions have an exclusivistic dimensions. How does this exclusivistic dimension contribute to intolerance and violence?

PENDAHULUAN

Situasi dan kondisi aman, tertib serta tentramnya kehidupan masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional, ditandai dengan terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentuan yang mengandung kemampuan dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang meresahkan masyarakat, termasuk issu terkini 10 Top Kerawanan a.l. : Bencana Alam, Kemiskinan, Pengangguran, Terorisme, Krisis Energi, Krisis Pangan, Krisis Moral, Korupsi, Konflik Horisontal, Konflik Vertikal, malahan Indonesia dianggap diambang gagal (failed state) bila :

1. Keamanan rakyat tidak bisa dijaga : perkosaan, traficking, narkoba, dll.

2. Konflik etnis dan agama tidak kunjung usai : Poso, Kupang, Sambas, Ambon, Papua, Ciketing, Sampang Madura, dll.

3. Korupsi merajalela : korupsi No.1 di Asia dan ke 5 di dunia (2005)

4. Legitimasi negara terus menipis : NGO Asing dgn bantuan kemanusiaan, HAM, Mogok Buruh dll.

5. Pemerintah Pusat lemah mengatasi masalah Dalam Negeri : Separatisme, Terorisme, Anarkisme, Radikalisme Agama dll.

6. Kerawanan terhadap tekanan Luar Negeri : Ambalat, Freeport, Newmont, Pulau-Pulau Terluar dll.

7. Dan Masyarakat sendiri sangat apatis, fragmatis dll.

Peranan dan fungsi Tokoh Masyarakat, Umat Beragama dan Lembaga Kerukunan yang meliputi pemeliharaan kedamaian, rukun dalam masyarakat, taat hukum dan perundang-undangan, serta pelayanan kepada umat dilakukan oleh Lembaga keumatan selaku partner negara bersama seluruh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Kedamaian, Keharmonisan, Kenyamanan hidup merupakan prasyarat umum karena dibutuhkan oleh masyarakat, bangsa dan negara demi ketentraman dan kesejahteraannya. Bangsa Indonesia menghendaki dengan kemerdekaannya itu menuju :

– Membentuk Negara Indonesia yang melindungi bangsa dan tanah air

– Menyelenggarakan masyarakat yang Adil dan Makmur (pendekatan kesejahteraan)

– Ikut dalam ketertiban dan perdamaian dunia (pendekatan ketertiban dunia).

Untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melindungi bangsa dan tanah air, maka negara di dalam UUD 1945 pasal 29 menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Dalam hal ini Dharma Negara dan Dharma Agama untuk membangun kerukunan umat beragama melalui legalitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Nation and Character Building).

DHARMA NEGARA : HUBUNGAN NEGARA DENGAN AGAMA

Negara dan agama merupakan dua lembaga yang secara hakiki berbeda, agama terutama berkenaan dengan relasi antara manusia dengan Tuhannya, sementara negara lebih berkenaan dengan hubungan antara manusia dalam suatu kehidupan bersama, namun demikian agamanya juga terkait dengan hubungan antar manusia dalam kehidupan bersama, sehingga sesungguhnya baik negara maupun agama keduanya sama bertujuan mengatur kehidupan manusia.

Walaupun wilayah berlakunya aturan Agama / agama-agama bersifat Universal, menembus batas-batas wilayah negara yang bersangkutan, namun dapat dipahami bahwa pada titik tertentu subyek dari kedua aturan tersebut sama yaitu warga negara dari suatu negara tertentu.

Dalam keadaan semacam itu timbul persoalan apakah aturan negara akan disatukan (dalam arti di dasarkan) pada aturan agama tertentu, atau justru kedua aturan itu dipisahkan satu sama lain. Penyatuan aturan negara dengan agama akan menimbulkan negara agama, sementara pemisahan antara aturan negara dengan aturan agama / agama-agama menimbulkan persoalan mendasar tentang bagaimana hubungan antara negara dengan agama / agama-agama itu sendiri.

Dalam model pembedaan dan kerjasama di antara negara dan agama/ agama-agama negara tidak menyatukan diri dengan satu agama tertentu, urusan agama maupun urusan negara tidak dipersatukan apalagi dicampur adukkan.

Negara melalui pemerintah mencoba mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan dengan agama melalui berbagai lembaga keagamaan yang ada. Perbedaan fungsi yang tegas dan kerjasama antara agama dan negara itu adalah sedemikian sehingga:

a. Negara tidak memasukkan agama kedalam dirinya, dan juga agama tidak mencaplok negara menjadi wilayah bawahannya.

b. Negara menghormati agama dengan karakteristiknya sendiri sehingga tidak ada campur tangan negara terhadap agama sebagai agama dan sebaliknya agama menghormati negara dengan karakteristiknya sendiri, sehingga tidak ada campur tangan agama terhadap penyelenggaraan negara.

c. Hukum negara tidak diangkat dari atau dibuat berdasarkan hukum agama.

d. Tidak ada agama yang diangkat menjadi agama negara yaitu agama satu-satunya yang harus dianut oleh seluruh rakyat.

e. Negara membantu rakyatnya dalam kehidupan beragama, berdasarkan pandangan bahwa kehidupan beragama adalah suatu jalan bagi manusia untuk memperoleh kebahagiaan religius, sedangkan kebahagiaan religius merupakan suatu segi kesejahteraan yang menjadi tujuan negara.

DHARMA AGAMA : MEMBANGUN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Manusia dalam penokohannya atau ditokohkan adalah makhluk religius yang artinya makhluk yang sadar akan dirinya sebagai yang berada di dalam keterkaitan. Bentuk kongkrit pengungkapan religius tentu sangat ditentukan oleh pengakuan dasar (iman) terhadap seseorang terhadap siapa sang pencipta itu sesuai dengan apa yang dihayati sebagai yang benar, oleh karena itu menjamin dan menghormati hak dan kebebasan orang lain untuk memeluk kepercayaan merupakan landasan dalam membangun kerukunan umat beragama.

Indonesia mempunyai berbagai ragam suku bangsa dan beberapa agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Kong Hu Cu) oleh karena itu perlu adanya Sinkretisme yaitu kebersamaan kelompok-kelompok (agama-agama) yang berbeda-beda untuk menghadapi musuh bersama-sama. Kerjasama antara agama di Indonesia dapat dengan mudah terjadi mengingat cara hidup masyarakat dan bangsa Indonesia di latarbelakangi oleh semangat kebersamaan dan gotong royong. Oleh karena itu sebagai Bangsa Indonesia menghilangkan ”Apriori Primodial” hal ini dalam rangka menghilangkan rasa emosi dan kesadaran membangun kerukunan umat beragama.

Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama umat beragama, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Dalam hidup berbangsa dan bernegara yang majemuk, terdiri dari suku agama dan latar belakang kebudayaan yang berbeda sangatlah perlu untuk mengingatkan di masing-masing bahwa kecuali kepentingan pembangunan kita sendiri baik berupa aku, keluargaku, sukuku, partaiku, golonganku dan yang lain-lain yang diikuti ku ada juga kepentingan orang lain yang juga ingin berbahagia dan mencapai tujuan seperti golongan kita.

Kita juga mengenal adanya Tri Kerukunan Umat Beragama yaitu :

1. Kerukunan Inter Umat Beragama

2. Kerukunan Antar Umat Beragama

3. Kerukunan Antar Umat Beragama dengan Pemerintah

Dari Tri Kerukunan Umat Beragama yang paling penting diwujudkan adalah kerukunan antar umat beragama karena kalau kurang mendapat pembinaan dan pencerahan maka kerukunan akan berkurang bahkan sebaliknya akan dapat mengakibatkan adanya perpecahan yang merugikan persatuan dan kesatuan bangsa. Namun ada sebuah ungkapan kami di FKUB Bali : ‘Kerukunan antar umat beragama memang sulit akan tetapi Kerukunan intern umat beragama jangan dianggap lebih gampang’. Fakta lapangan menunjukkan banyak terjadi konflik-konflik yang diakibatkan ke disharmonian hubungan intern umat beragama itu sendiri.

LEGALITAS DAN PEMBERDAYAAN UMAT BERAGAMA

Di dalam pasal 29 UUD 1945 menentukan :

(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Negara berdasarkan kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dam kepercayaan itu.

Ketentuan ini menegaskan tugas negara dalam bidang hidup keagamaan yaitu bahwa negara bertugas untuk memberikan jaminan perlindungan agar setiap penduduk, yang nota bene adalah pemeluk agama tertentu, dapat secara bebas melaksanakan ajaran agama atau kepercayaannya. Negara bertugas untuk menjaga harmoni antara kebebasan menjalankan ibadah agama dengan upaya mewujudkan kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Tugas tersebut dijalankan dengan cara menjamin kesempatan yang sama dan adil bagi setiap warga negara untuk mengenalkan konsepsinya tentang Tuhan sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya.

Menurut Amin Suyitno dan Gultom (1981:57) ada empat tugas negara terhadap agama dan penganutnya :

a. Mengakui dan menghormati serta menjamin hak hidup agama dan kepercayaannya;

b. Menjamin tiap-tiap penduduk menjalankan ibadahnya;

c. Memberikan perlindungan yang sama terhadap semua perkumpulan agama dan kepercayaannya;

d. Membina sikap positif warga negara terhadap agama dan kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Legalitas dan pemberdayaan kerukunan umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah.

Di dalam perlindungan terhadap kerukunan umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat sudah menjadi tanggung jawab semua pihak, terutama bagaimana meningkatkan SDM dan Lembaga Kerukunan sesuai dengan keinginan umat, bangsa dan negara kita.

Di samping Majelis Agama dalam kerangka pemeliharaan kerukunan umat beragama juga menjadi tugas Kepala Daerah seperti yang tercantum dalam Peraturan Bersama Mendagri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang pedoman tugas Kepala Daerah dalam pemeliharaan kerukunan beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah terdapat pada :

1. BAB II Tentang Tugas Kepala Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama dalam pasal 2,3,4,5,6,7.

2. BAB III Forum Kerukunan Umat Beragama di dalam pasal 8,9,10,11,12.

Jadi kerukunan umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat sudah dilegalisir oleh Pemerintah karena Pemerintah mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun, lancar dan tertib, dan untuk daerah dalam rangka menyelenggarakan otonomi, mempunyai kewajiban melaksanakan urusan wajib bidang perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang serta kewajiban melindungi masyarakat, menjaga persatuan, dan kerukunan nasional serta keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kerukunan umat beragama merupakan bagian terpenting dari kerukunan nasional. Jadi pemerintah dan Majelis Agama mempunyai kewajiban yang sama dalam memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.

Kerukunan, persatuan dan kesatuan bangsa, khususnya kerukunan antar umat beragama merupakan syarat mutlak demi terwujudnya suasana aman, damai, tentram dan sentosa. Oleh sebab itu tumbuhnya semangat demokratisasi harus bersamaan dengan tumbuhnya semangat :

1. Menghormati hak-hak manusia, melalui kesadaran kesamaan harkat sebagai sesama makhluk Tuhan yang dikaruniai kehormatan dan kemuliaan.

2. Tumbuhnya semangat kebangsaan, semangat cinta tanah air sebagai karunia Tuhan yang patut disyukuri.

3. Menjauhkan segala faktor yang akan merusak kebanggaan terhadap harga diri bangsa dengan bermusuhan antar agama.

MULTIKULTUR DAN PLURALISME : ANTARA REALITAS, KESADARAN DAN SIKAP

Pluralitas masyarakat di manapun adalah sebuah realitas eksistensial yang terbentuk dari perbedaan yang ada secara kodrati dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Tak seorang manusia pun sama dengan manusia lainnya walau mereka lahir sebagai saudara kembar. Tak ada cap jempol yang sama adalah contoh paling nyata bahwa tak ada dua manusia yang absolut sama. Mungkin saja sangat mirip tapi tidak mungkin persis sama. Sebuah masyarakat dunia terdiri dan terbentuk dari banyak orang yang merupakan warganya. Kalaulah ada sebuah masyarakat tradisional yang dianggap homogen namun homogenitasnya itu relatif sifatnya sebab di dalamnya pasti ada unsur-unsur yang berbeda sehingga tak akan terelakkan adanya heterogenitas betapapun kecilnya. Sebuah masyarakat bagaimanapun, bukanlah sebuah kumpulan makhluk organis yang statis, yang tidak mengalami perubahan dan perubahan itu tentu sangat bervariasi coraknya sehingga memperkaya dan menambah kompleksitas perbedaan. Karena itu tidak mungkin dihindari bahwa pluralitas yang ada secara kodrati itu kemudian secara sosial dan kultural terus mengalami perkembangan dalam gerak dinamika kehidupan manusia dan masyarakat yang multidimensional sifatnya, dan dengan sendirinya akan melahirkan berbagai visi tentang kehidupan dan masa depan.

Untuk batas tertentu pluralitas bisa dilihat sebagai kekayaan namun dalam perkembangannya ia tidak hanya berhenti pada perbedaan sekedar dan sebagai perbedaan semata tapi mungkin saja perbedaan itu bersifat diametral dan antagonistik sehingga sebenarnya bukan lagi perbedaan melainkan sebuah pertentangan. Tantangan yang dihadapi oleh manusia dan masyarakat adalah bukan menghilangkan perbedaan dan pertentangan sebagai realitas sosial dan kultural melainkan bagaimana mengelolanya secara kreatif sehingga terwujud dalam “cooperation” dan “competition”, kerjasama dan persaingan. Dalam perspektif ini “management of conflict” menjadi sangat penting.

MULTIKULTURISME SEBUAH KENISCAYAAN DI BUMI PANCASILA

Pluralitas yang muncul dalam proses kehidupan dunia kita terwujud dalam dua bentuk : pluralitas horizontal dan pluralitas vertikal. Yang pertama terlihat misalnya dalam perbedaan etnis atau ras dan agama sedangkan yang kedua terlihat umpamanya dalam perbedaan peran politik antara penguasa dan rakyat, dalam kemampuan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin, dan dalam tingkat pendidikan antara kaum terpelajar dan masyarakat awam. Tentu saja pluralitas vertikal ini tidak dikaitkan dengan pluralisme tradisional yang memberlakukan perbedaan strata sosial dalam pelembagaan yang bersifat diskriminatif. Kedua-duanya, pluralitas horizontal dan pluralisme modern yang menjunjung tinggi hak-hak manusia.

Mobilitas sosial yang didukung oleh kemudahan dalam dan untuk bepergian sebagai hasil kemajuan sarana-sarana transportasi membuat kontak-kontak horizontal warga masyarakat dengan warga masyarakat lainnya makin sering terjadi dan juga makin luas jangkauannya melampaui batas-batas geografis, lokal, regional bahkan nasional dan internasional sehingga heteroginitas masyarakat makin kompleks. Perbedaan tingkat dan kadar kemampuan warga masyarakat, baik dilihat dari segi kebendaan, kecerdasan maupun kesempatan untuk memperoleh jalur lembaga pendidikan maupun media massa, mengakibatkan perbedaan kemampuan untuk mengembangkan diri dan meraih keberhasilan. Akibat lebih jauh adalah terjadinya pluralitas vertikal yang terwujud dalam tingkatan strata politik, ekonomi maupun keterpelajaran. Perlu disadari dan dicatat bahwa pluralitas walaupun dalam batas tertentu merupakan kekayaan yang membentuk mozaik kultural sekaligus potensi dinamika masyarakat dan bangsa di dunia ini namun hal itu juga bisa menjadi sumber konflik sosial. Karena itu diperlukan usaha untuk menumbuhkan kesadaran untuk menerima perbedaan sebagai realitas natural maupun kultural sepanjang fungsional sifatnya dan tidak melecehkan harkat dan martabat kemanusiaan. Dari perspektif ini kita bersinggungan dengan konsep pluralisme.

Pluralisme tentu saja lahir dari kesadaran dan kesediaan menerima perbedaan untuk kemudian mengolahnya, sebagai unsur kreatif masyarakat kita sebagai sebuah kesatuan yang mengandung dan merangkum kemajemukan. Dalam perspektif masyarakat kita yang multietnik perlu disadari bahwa masing-masing etnik tentu memiliki identitas budayanya sendiri. Tambahan lagi, kehadiran berbagai agama yang menjadi anutan masyarakat kita telah memperkaya kemajemukan bangsa kita. Kehadiran agama-agama itu tentu saja memasuki aspek batiniah budaya bangsa di dunia ini. Karena itu pluralisme dengan sendirinya identik dengan dan memang pada hakikatnya muradif atau sinonim multikulturisme. Semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai terpatri dalam lambang negara Republik Indonesia : Garuda Pancasila menegaskan bahwa bangsa Indonesia secara tegas menganut prinsip pluralisme. Dengan pluralisme di sini kita tidak dimaksudkan pluralisme ekstrem sebagai reaksi terhadap monisme yang mengatakan bahwa dunia ini terdiri dari jumlah tak terbatas dari unsur-unsur yang terpisah. Pluralisme yang perlu dan harus kita kembangkan adalah pluralisme yang terwujud dalam sikap pluralistik, yakni sikap yang bersedia menerima perbedaan, bukan hanya sebagai realitas objektif akan tetapi juga sebagai potensi dinamik yang memberikan kemungkinan-kemungkinan dan harapan akan kemajuan di masa depan. Sebuah pluralisme yang menyemangati sistem pergaulan sosial yang memungkinkan setiap unsur kultural masyarakat dunia kita saling berinteraksi secara alamiah dalam proses yang saling memperkaya dan diharapkan akan melahirkan sebuah masyarakat majemuk yang terbuka, multikultural dan demokratis.

PLURALITAS KEAGAMAAN : ANTARA EKSKLUSIFISME DAN INKLUSIFISME

Pluralisme dalam konteks kehidupan keagamaan tidak hanya ditandai oleh kehadiran berbagai agama yang secara eksistensial memiliki tradisi yang berbeda satu sama lain akan tetapi juga ditandai oleh pluralisme penafsiran tidak hanya melahirkan berbagai aliran atau mazhab bahkan juga sekte keagamaan akan tetapi juga melahirkan perbedaan kecenderungan pandangan dan sikap : eksklusifisme dan insklusifisme. Pluralitas kelembagaan melalui itu agama mendunia, memasuki ruang dan waktu, tampak dari dan terwujud dalam kehadiran, paling tidak, tokoh-tokoh agama, organisasi-organisasi keagamaan dan komunitas-komunitas agama.

Perlu digarisbawahi bahwa pluralitas agama berkaitan dengan masalah yang sangat peka. Sebab agama berkaitan dengan keyakinan tentang sesuatu yang absolut benar, sesuatu yang “ultimate”, yang menyangkut keselamatan hidup manusia setelah “kematian”. Keyakinan tersebut diejawantahkan dalam keberagamaan, tidak juga dalam wujud keyakinan teologis atau simbolisme ritual melainkan juga dalam wujud kegiatan yang secara langsung atau tidak bernuansa bahkan berdampak sosial.

Ada berbagai opsi dalam masyarakat kita menjawab pluralitas keagamaan itu,

Pertama adalah sikap menerima kehadiran orang lain atas dasar konsep hidup berdampingan secara damai. Yang diperlukan adalah sikap tidak saling mengganggu.

Kedua adalah mengembangkan kerjasama sosial-keagamaan melalui berbagai kegiatan yang secara simbolik (live in) memperlihatkan dan fungsional mendorong proses pengembangan kehidupan beragama yang rukun.

Ketiga adalah mencari dan mengembangkan dan merumuskan titik-titik temu agama-agama untuk menjawab problema, tantangan dan keprihatinan umat manusia :

Opsi pertama adalah sekedar tahap awal dan kondisi minimal untuk membangun kebersamaan masyarakat kita.

Opsi kedua merupakan landasan “Teologis” bagi masing-masing umat untuk membangun sebuah masyarakat di mana semua orang dapat hidup bersama dalam semangat persamaan dan kesatuan umat manusia.

Opsi ketiga merupakan perwujudan nyata dari kebersamaan itu.

Dalam perspektif yang lain kita juga bisa menempatkan pluralisme keagamaan itu dalam kerangka pendekatan tataran ’Menyama Braya’ (vasudeva kuthum bhakam) yang menempatkan persaudaraan seagama, persaudaraan sebangsa dan persaudaraan sesama umat manusia dalam satu nafas. Ketiga-tiganya tidak harus bertentangan dan masing-masing mempunyai tempat dan relevansinya sendiri dalam kehidupan kita sebagai manusia pribadi, warga negara dan warga dunia sehingga tidak perlu membuat kita dalam situasi dilematik apalagi di negara yang memiliki 4 pilar kebangsaan al. Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945.

TEOLOGI HINDU YANG PLURALIS DAN DIALOGIS

Pandangan agama Hindu tentang pluralisme dan dialogisme merupakan landasan atau dasar-dasar kerukunan hidup beragama yang sejati seperti diamanatkan dalam mantra-mantra kitab suci Veda berikut ini, menghargai pluralisme (perbedaan agama / kepercayaan dan budaya serta mewujudkan kemakmuran bersama :

Jnanam bibharati bahudha vivacasam, Naandharmanam prthivi yathaikasam,

Sahasram dhara dravinasya me duham, Dhraveva dhenuranapasphuranti

Atharwaveda XII.1.45

(Berikanlah penghargaan kepada bangsamu yang menggunakan berbagai bahasa daerah, yang menganut berbagai kepercayaan (agama) yang berbeda. Hargailah mereka yang tinggal bersama di bumi pertiwi ini. Bumi yang memberi keseimbangan bagaikan sapi yang memberi susunya kepada umat manusia. Demikian ibu pertiwi memberikan kebahagiaan yang melimpah kepada umat-Nya).

Mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk mencapai tujuan bersama (kedamaian, kemakmuran dan kebahagiaan) :

Sam vo manamsi sam vrata sam akutir namamsi,

Ami ye vivrata sthana tan vah sam namayamasi

Atharwaveda III.8.5

(Aku satukan pikiran, dan langkahmu untuk mewujudkan kerukunan di antara kamu. Aku bimbing mereka yang berbuat jahat menuju jalan yang benar)

Yena deva na viyanti no ca vidvisate mithah

Tat krnmo brahman vo grhe samjnana purunebhyah

Atharwaveda III.30.4

(Wahai umat manusia! Bersatulah, dan rukunlah kamu seperti menyatunya para dewata. Aku telah anugrahkan hal yang sama kepadamu, oleh karena itu ciptakanlah persatuan di antara kamu).

Mewujudkan kehidupan yang harmonis serta dialogis :

Sam gacchadhvam sam vadadhvam, Sam vo manamsi janatam

Deva bhagam yatha purve samjanana upasate

Rgveda X.191.2.

(Wahai umat manusia! Hiduplah dalam harmoni dan kerukunan. Hendaklah bersatu, dan bekerja sama. Berbicaralah dengan satu bahasa, dan ambilah keputusan dengan satu pikiran. Seperti orang-orang suci di masa lalu yang telah melaksanakan kewajibannya, hendaklah kamu tidak goyah dalam melaksanakan kewajibanmu)

Mewujudkan kehidupan yang demokratis dengan bermusyawarah dan menumbuhkan saling pengertian :

samano mantrah samitih samani, samanam manah saha cittam esam

samanam mantram abhi mantarey vah, samanena vo havisa juhomi

Rgveda X.191.3

(Wahai umat manusia! Pikirkanlah bersama. Bermusyawarahlah bersama. Satukanlah hati, dan pikiranmu dengan yang lain. Aku anugrahkan pikiran yang sama, dan fasilitas yang sama pula untnk kerukunan hidupmu)

Samani va akutih samana hrdayani vah,

Samanam astu vo mano yatha vah susahasati.

Rgveda X.191.4.

(Wahai umat manusia! Milikilah perhatian yang sama. Tumbuhkan saling pcngertian di antara kamu. Dengan demikian engkau dapat mewujudkan kerukunan dan kesatuan)

Mengembangkan hati yang tulus ikhlas dan persahabatan yang sejati :

Sahrdayam sam manasyam avidvesam krnomi vah,

Anyo anyam abhi haryata vatsam jatam ivagh-nya

Atharvaveda III. 30.1

(Wahai umat manusia, Aku memberimu sifat ketulusikhlasan, mentalitas yang sama, persahabatan tanpa kebencian, seperti halnya induk sapi mencintai anaknya yang baru lahir, begitu seharusnya kamu mencintai sesamamu).

Mengembangkan keharmonisan yang sejati, baik kepada orang yang dikenal dan bahkan dengan orang asing sekalipun :

Samjnanam nah svebhih samjnanam aranebhih,

Samjnanam asvina yuvam thasmasu ni yacchatam

Atharvaveda VII.52.1

(Hendaknya harmonis dengan penuh keintiman di antara kamu, demikian pula dengan orang-orang yang dikenal maupun asing. Semogalah dewa Asvina menganugrahkan rahmat-Nya untuk keharmonisan antar sesama).

Dalam usaha meningkatkan kerukunan intra, antar, dan antara umat beragama yang dilandasi dengan teologi yang humanis, pluralis dan dialogis, dikutipkan pernyataan Svami Vivekananda pada penutupan sidang Parlemen Agama-Agama sedunia, tepatnya tanggal 27 September 1893 di Chicago, Amerika Serikat, karena pernyataan yang disampaikan oleh pemikir Hindu yang sangat terkenal pada akhir abad yang lalu itu (sudah 119 tahun lewat) senantiasa relevan dengan situasi saat ini. Pidato yang menggemparkan dunia, dan memperoleh penghargaan yang tinggi seperti ditulis oleh surat kabar Amerika sebagai berikut: “An orator by divine right and undoubted greatest in the Parliament of Religion” (Walker, 1983:580).

Di samping mantra tersebut di atas, dalam rangka mewujudkan kerukunan hidup beragama dalam rangka integrasi nasional, kiranya perlu dipahami dasar-dasar teologis kehidupan berbangsa dan bernegara seperti diamanatkan dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya.

KELUAR DARI DUNIA KECURIGAAN DAN PERMUSUHAN

Kita tidak tahu kapan kita bisa keluar dari situasi yang masih mencekam. Krisis relasi sosial yang secara langsung atau tidak menciderai kerukunan hidup antar umat berbagai agama sangat menghantui kita sebab malapetaka yang diakibatkannya tidak bisa diperkirakan bahkan cenderung tidak masuk akal sebagaimana kita alami berkali-kali akhir-akhir ini. Para cendikiawan agama dihadapkan pada tantangan yang sebagian bukan tanggungjawab mereka. Masyarakat kita telah terpuruk dalam kehidupan yang diliputi oleh suasana saling curiga. Terdapat berbagai persepsi negatif satu sama lain di antara berbagai kelompok masyarakat kita sehingga kehidupan kita sebangsa menyimpan potensi disintegrasi sosial. Masing-masing golongan merasa terancam eksistensi mereka oleh golongan lain. Berbagai kasus tragis telah menimbulkan trauma yang memerlukan waktu lama untuk dihilangkan dari memori. Selama itu yang sewaktu-waktu bisa menjelma menjadi konflik sosial.

Dalam perspektif kultural, masyarakat Indonesia pada umumnya cinta damai. Dalam kehidupan sehari-hari hubungan antartokoh / antarpemuka agama bisa berhubungan dengan baik. Namun masalahnya menjadi lain ketika ada kepentingan politik masuk dalam kehidupan para tokoh agama. Terkadang hal tersebut bisa menjadi pemicu persitegangan antarmereka. Sudah menjadi rahasia umum teori yang berbunyi : there is no relation between religion and violence, neither in Islam, nor in any religion for that matter, Violence is a social and political phenomenon.

Tidak diragukan lagi tokoh agama / pemuka agama adalah panutan, tokoh teladan. Oleh karena itu diharapkan tidak akan terjadi komodivikasi agama karena jelas sangat berbahaya bagi pemeliharaan kerukunan umat beragama. Dalam rangka mencegah sedini mungkin terjadinya kecurigaan, permusuhan tentu pemerintah, tokoh agama, pemuka masyarakat perlu melakukan tindakan preventif dan sekaligus memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang mengarah pada kerjasama intern, antarumat dan pemerintah (live in).

MENYAMA BRAYA : TOLERANSI TERHADAP KEMAJEMUKAN

Aksi Terorisme seperti halnya Tragedi berdarah Bom Bali I & II di Kuta dan Jimbaran Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, beberapa hari menjelang perayaan Hari Suci Nyepi 1934 di Denpasar disinyalir 5 (lima) orang teroris yang ditembak mati serta yang masih hidup dikejar, diburu, ditangkap, Kasus Solo masih dalam suasana di Bulan Suci Ramadhan, Bom Depok dll. Anarkhis massa di Buol, Ciketing (Ahmadiyah), Sampang Madura, kemudian masalah Pluralisme : Kasus HKBP, Masalah Separatisme : RMS, GAM, OPM, dan seterusnya di belahan bumi ini, tragedi demi tragedi berdarah terus berlanjut hingga kini, menjadikan paham kamejemukan (pluralisme) dan toleransi semakin mendapat perhatian di seluruh dunia, termasuk dalam sidang yang terhormat kali ini.

Fanatisme agama, yang berdasarkan truth claim, yang menganggap seolah-olah kelompoknya sendiri saja yang memiliki kebenaran mutlak, mengandung potensi kekerasan dan kebencian, dan bila itu diterjemahkan dalam praktek, sekalipun dilakukan oleh sekelompok kecil orang, bisa membawa malapetaka atau tragedi kemanusiaan.

Budaya rohani agama Hindu (Bali) dapat memberikan sumbangan penting terhadap pengembangan toleransi dan kemajemukan serta memberikan perubahan dalam membangun kesetiakawanan untuk mewujudkan perdamaian dunia. Agama-agama panteisme di mana Hindu (Bali) ada di antaranya dapat hidup berdampingan dengan agama-agama lain. Penyebarannya tidak membawa gangguan terhadap kesinambungan budaya sebagaimana ditimbulkan oleh penyebaran agama lain. Dalam masyarakat panteistik, nilai-nilai gagasan-gagasan dan hal-hal asing dapat diterima. Masyarakat bersikap toleran terhadap hal-hal baru itu (Arnold J. Toynbee dan Daisaku Ikeda : Perjuangkan Hidup). Dalam agama Hindu (Bali) dikenal dengan: menerima setiap purubahan baru apapun yang terjadi dan datang dari manapun juga asalnya, asalkan perubahan tersebut selalu berdasarkan atas dharma (kebenaran yang abadi = sanatana dharma).

Ahli-ahli tentang sejarah agama menyatakan bahwa tidak terdapat bukti-bukti adanya intoleransi beragama dalam agama Hindu. Pertentangan jarang dijumpai dan pertukaran agama terjadi dalam suasana damai dan dengan tidak menimbulkan ketegangan dalam masyarakat. Agama Hindu bersifat filosofis dan oleh karena itu dapat melihat dan menghargai kebenaran yang ada dalam agama lain. Dengan demikian agama ini bersifat toleran. Bahkan ada yang berpendapat bahwa toleransinya terlalu besar sehingga dapat menerima agama-agama yang bersifat magis. (Harun Nasution : Islam Rasional). Namun ada juga orang berpendapat lain tentang toleransi yang diartikan negatif yaitu toleransi : sama dengan memperpanjang waktu kekalahan dan kehancuran. Pendapat seperti inilah yang harus kita abaikan dan tidak harus ada.

Karena orang Hindu di Bali pada umumnya, dan mereka dengan pemahaman tentang Tuhan yang lebih matang, lebih sadar tentang berbagai aspek berbeda dari Tuhan, dan melihat Tuhan yang sama dalam semua agama, tidak ada friksi antara mereka dengan orang lain tanpa perlu merasa bahwa setiap orang lain telah dikutuk masuk neraka, atau dikonversi supaya ’diselamatkan’. Orang-orang Hindu mengakui Tuhan yang sama sekalipun disembah dengan berbagai cara. Jadi apa susahnya? Tidak ada masalah. Ini benar bagi pemuja yang tulus dari agama apapun. Seorang Kristen yang tulus dan matang dengan mudah dapat bergaul dengan seorang Hindu yang tulus, yang dapat dengan mudah hidup bersama seorang Muslim yang tulus dan matang, yang dapat hidup bersama dengan seorang Sikh, Buddhis yang tulus dan seterusnya. (Stephen Knapp : ’Mengapa Menjadi Hindu : Keuntungan Jalan Veda’, dalam Hindu Agama Terbesar di Dunia).

Di Bali, di beberapa Kabupaten dan Kota, terdapat kampung-kampung Islam tradisional. Artinya komunitas Islam ini sudah ada sejak jaman kerajaan Bali. Di Kabupaten Buleleng ada Desa Pegayaman, di Kabupaten Jembrana ada Desa Loloan, di Kota Denpasar ada Desa Kepaon, di Kabupaten Karangasem ada Desa Nyuh Kuning dan Desa Sidemen, di Kabupaten Klungkung ada Desa Gelgel. Komunitas Islam ini ada yang berasal dari Blambangan, Pulau Madura di Jawa Timur, Bugis dari Pulau Sulawesi dan Pulau Lombok. Mereka dibawa oleh para raja-raja Bali dari tempat asal mereka sebagai prajurit. Orang-orang Bugis datang ke Desa Loloan Bali, karena menghindari penjajahan Belanda.

Komunitas Islam ini hidup menyatu dengan masyarakat sekitarnya. Bahkan komunitas Islam Pegayaman memakai nama-nama Bali di depan nama Muslim mereka contoh : Haji Wayan Samzul Bachri). Tapi mereka tetap melaksanakan agamanya secara taat. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Sebagai abdi raja, komunitas ini mendapat perlindungan dari raja. Mereka diberikan tempat tinggal khusus, diberikan tanah untuk mendirikan masjid. Pada waktu pelaksanaan Naik Haji, raja memberikan mereka bantuan. Komunitas Islam Kepaon di Kota Denpasar Bali sampai sekarang menjaga hubungannya yang kuat dengan Puri Pemecutan. Setiap ada upacara di Puri Pemecutan, orang-orang Muslim Kepaon selalu datang untuk membantu.

Di samping itu, komunitas ini tetap dapat memelihara dan menjalankan tradisi agamanya, karena umat Hindu di sekitarnya tidak menganggu mereka. Misalnya dengan upaya mengkonversikan mereka ke dalam agama Hindu dan umat Hindu menghormati keyakinan mereka. Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung, demikianlah cara mereka untuk dapat menyama braya yang hidup berdampingan secara harmonis, damai serta mereka sangat akrab dengan masyarakat setempat dan turut serta menjaga alam lingkungannya.

GLOBAL ETIK : MENGEMBANGKAN ETIKA DIALOG

Dalam Deklarasi Etika Global (weltethos) yang diluncurkan di Chicago pada tahun 1993 disebutkan bahwa : “setiap orang harus diperlakukan secara manusiawi”. Kalimat tersebut memiliki makna yang dalam bahwa setiap orang mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dan harus disadari dan dilaksanakan oleh semua pihak, berupa pertama, kewajiban dalam memelihara budaya tanpa kekerasan dan kekejian dalam semua bentuk kehidupan; kedua, kewajiban dalam memelihara budaya solidaritas bersama dalam mewujudkan keadilan di bidang ekonomi; ketiga, kewajiban dalam memelihara budaya persamaan derajat dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan.

Tokoh Agama dan Lembaga Keagamaan harus mendorong dan membangun terciptanya The Global Ethics yang berkeadilan sosial dalam Nation and Character Building pada masyarakatnya. Cita-cita keadilan sosial dalam agama apapun termasuk semua agama di dunia dan salah satunya dalam agama Hindu dalam konsep loksamgraha dan Menyama Braya, atau kesejahteraan untuk seluruh masyarakat. Dalam kedua konsep tersebut, terkandung kesetiakawanan, kerelaan untuk berkorban demi kepentingan orang lain yang kurang beruntung. Dan sangat tepat konsep ini dikemukakan dalam sidang saat ini di mana kenyataan yang tidak bisa dihindari bahwa kita bangsa Indonesia, bangsa-bangsa Asia malahan bangsa-bangsa di dunia ini yang terdiri dari keanekaragaman kultur, bahasa, ras, geografi, sejarah, agama dan keimanan terpuruk akibat sering agama digunakan untuk menghancurkan peradaban manusia yang beradab diluar ajaran agama itu sendiri yang mengajarkan kita penuh kasih dan kedamaian.

Veda meneguhkan kehidupan dan ketika Veda menyanyikan SARVE BHAVANTU SUKHINAH, mantra ini menekankan bahwa keselamatan pribadi bukanlah satu-satunya tujuan, tetapi bahwa kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat pemeluk Hindu, adalah sama pentingnya bahkan jauh lebih penting.

Loksamgraha sebagai suatu yang ideal dari masyarakat Hindu, dapat diwujudkan melalui suatu proses. Dimulai dengan proses tumbuhnya kesadaran sosial dikalangan para pemeluk agama, bahwa masing-masing dari kita adalah bersaudara satu sama lain : WASUDEVA KUTHUMBHAKAM. Bahkan hakikat diri kita sebetulnya sama. Penderitaan bagi yang satu adalah penderitaan bagi yang lain. Kebahagiaan bagi yang satu adalah kebahagiaan bagi yang lain, aku adalah engkau: TAT TWAM ASI.

Masyarakat yang sejahtera, adalah merupakan jumlah total dari individu dan keluarga yang sejahtera dan merupakan bagian dari masyarakat dunia yang sejahtera pula. Pada hakikatnya setiap individu para pemeluk agama, harus mampu menciptakan kesejahteraannya sendiri, melalui karma atau tindakannya sendiri. Dan untuk itu dia haruslah memiliki kemampuan, kecerdasan, keahlian dan pengetahuan serta keterampilan untuk menunjang profesinya, dengan mana dia mencapai kesejahteraan diri dan keluarganya termasuk masyarakat dunia.

Kini adalah saatnya kita bersekutu untuk membangun dunia baru yang lebih aman, tenteram, adil, damai penuh kasih dan sejahtera dengan memperluas makna yajna, tidak saja pengorbanan dalam hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama umat manusia, berdasarkan ’daya’ (compassion atau cinta kasih) dan ’dana’ (pemberian bantuan). Dana bukan untuk jangka pendek, atau caritas sentimental, berupa sedekah untuk sekedar menghilangkan lapar dan sakit. Dana haruslah untuk suatu yang bersifat strategis, jangka panjang, yaitu untuk peningkatan spiritualitas umat manusia yang lebih beradab.

Marilah kita bersekutu untuk membangun dan peka terhadap penyakit masyarakat dan ikut memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh mereka yang tidak beruntung. Agama yang tidak peka terhadap penyakit masyarakat dan tidak ikut ambil bagian dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, tidak akan mendapat tempat dalam masyarakat modern, tidak menarik bagi manusia modern (Sarvepalli Radhakrisnan) dan Konferensi WCRP, Kyoto 1970, Genesis and contents of the Global Ethic project mengemukakan :

• No peace among the nations without peace among the religions,

• No peace among the religions without dialogue among the riligions,

• No dialogue among the riligions without a consensus on shared ethical values, a global ethics,

• No new world order without a global ethics.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Peranan masing-masing Tokoh Agama yang memahami benar Teologi di dalam kitab suci agama-agama di dunia ini termasuk kitab suci Veda dan susastra Hindu disebut Brahmavidya atau pengetahuan ketuhanan, yang di dalamnya mengajarkan berbagai aspek ketuhanan, utamanya yang berkaitan dengan makhluk ciptaan-Nya, yakni umat manusia untuk mengembangkan kehidupan yang humanis, pluralis dan dialogis. Kehidupan yang humanis dilandasi oleh ajaran bahwa semua makhluk berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dan akan kembali kepada-Nya. Kesadaran bahwa atma (roh) yang menghidupkan setiap makhluk berasal dari Tuhan Yang Maha Esa muncul ajaran yang disebut Panca Mahavakya Upanishad yakni: Tat tvam asi (Thou are That), Aham Brahmasmi (I am Brahman), Aham atma Brahman (This Self is Brahman), Prajnam Brahman (Consciousness is Brahman), dan Sarvam khalu idam Brahman (All indeed is Brahman).

Kitab-Kitab suci mengamanatkan untuk menyadari adanya kebhinekaan (pluralisme) dan untuk menumbuhkan kerukunan yang sejati mengembangkan sikap dialogis, dengan bermusyawarah untuk mencapai mufakat guna mewujudkan tujuan bersama yaitu Harmonis, Damai, Bersatu padu untuk membangun budaya rohani yang utuh demi kesejahteraan umat manusia yang merupakan implementasi The Global Etics dalam Nation and Character Building bangsa Indonesia. Di Bali dikenal dengan istilah Tri Hita Karana (Tiga penyebab keharmonisan), pertama : harmonis antara manusia dengan TuhanNya, kedua : harmonis antara manusia dengan manusia sesamanya, dan ketiga : harmonis antara manusia dengan alam lingkungannya.

Peranan Tokoh Agama yang dimaksudkan adalah mereka yang mengusung moderasi dalam beragama, memiliki empati dan respect for others, mempunyai integritas tinggi dalam memegang teguh ajaran fundamental masing-masing agamanya tetapi secara bersamaan mereka juga menjadi sosok yang terbuka untuk bisa menerima perbedaan secara bijaksana. Selain itu mereka juga diharapkan benar-benar tokoh yang berpengaruh di daerahnya masing-masing. Secara kultural mereka mempunyai power yang bisa menggerakkan orang untuk sebuah tujuan mulia, yakni : membangun saling pengertian, kebersamaan dan kerjasama intern dan antarumat beragama.

Sebagai penutup seluruh uraian di atas maka peranan Tokoh Agama harus dapat mendorong agar fungsi sosial agama menurut para ahli sosiolog diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari di manapun berada di Bumi Pancasila ini agar Nation and Character Building bisa terwujud dengan baik guna meminimalkan berbagai konflik sosial dalam rangka menjaga keutuhan NKRI :

• Agama sebagai perekat sosial (intern, antar umat beragama dan pemerintah),

• Agama sebagai pemberi arti kehidupan,

• Agama sebagai sumber nilai,

• Agama sebagai faktor kontrol sosial,

• Agama sebagai pendorong perubahan sosial.

DAFTAR BACAAN

Alamsjah,H. 1982. Pembinaan Kerukunan Hldup Umat Beragama Departemen Agama RI. Jakarta: Wilayah kajian Agama di Indonesia Depatemen Agama R I.

Durkheim, Emile, 1985. The Elementary Form of the Religious Life A study In Religious Sociology. Joseph Ward Swain (Trans.).

Naim, Sahibi 1985. Kerukunan Antar Umat Beragama. Jakarta: Gunung Agung.

Koentjaraningrat 1977. Beberapa pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Budiman, Arief. 1993. ”Dimensi Sosial Ekonomi dalam Konflik Antar Agama di Indonesia” dalam dialog Kritik & Identitas Agama. Yogyakarta: Interfidei.

Gedong Bagoes Oka, 1994. ”Spiritualitas baru dalam Agama Hindu” dalam Spiritualitas Baru : Agama dan Asplrasi Rakyat. Yogyakarta: Interfidei

Dharmika, Ida Bagus. 1996. Kerukunan Hidup Beragama: Studi Kasus di Subak Medewi, Jembrana Bali. dalam Profil Kerukunan Hidup Umat Beragama. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departeman Agama RI.

Dharmika, Ida Bagus. 2000. Kerukunan Antar Umat Beragama Di desa Angantiga, Petang Badung. Denpasar: Univ. Hindu Indonesia Denpasar.

DR.H. Moch. Qasim Mathar, MA., 2003. Sejarah, Teologi Dan Etika Agama-Agama. Penerbit Dian/Interfidei, Jogyakarta.

Dharmika, Ida Bagus. 2005. Menyama Braya (Hakikat Hubungan Manusia Dengan Manusia Di Bali), Denpasar : Musyawarah Majelis Agama dalam Forum Komunikasi Antar Umat Beragama Prop. Bali di Hotel Oranje, 2005

Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, 2005. Kompilasi Dokumen Literer 45 Tahun Parisada.

PBM Menteri Agama RI & Menteri Dalam Negeri RI, 2006. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI No.9 & Menteri Dalam Negeri RI No.10 Tentang Pembinaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah.

Wiyana, Ida Bagus Gede in Asian Inter-religious Leaders Conference“Being Peacemakers in Asia Today” 12-16 November 2007, Lotus Hotel Pang Suan Kaew, Chiang Mai, Thailand

Dra. Kustini, Msi (Ed)., 2009. Efektivitas Sosialisasi PBM No.9 dan 8 Tahun 2006. Departemen Agama RI – Badan LitBang dan Diklat, Pusdiklat Kehidupan Keagamaan.

Prof. Dr. HM. Atho Mudzar, 2009. Peran Pemuka Agama Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama melalui Peningkatan Kemandirian FKUB, BalitBang Departemen Agama RI, Jakarta.

Wiyana, Ida Bagus Gede, 2010. Latihan Kader II (Intermediate Training) Tingkat Nasional oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Denpasar 25-01-2010.

Wiyana, Ida Bagus Gede, 2010, Interfaith Dialogue Evangelist Church : Be Peace Maker Today ‘de freider comm aus Bali’ , Freiburg – Germany, July 27 – August 26, 2010.

Hasil-Hasil Keputusan Musyawarah Majelis-Majelis Agama Propinsi Bali Tahun 2007 s/d Tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama Propinsi Bali dan Biro Kesra Setda Propinsi Bali.

Wiyana, Ida Bagus Gede, 2012, Seminar Agama-Agama oleh Senat Mahasiswa Fakultas Teologi UKSW Salatiga dgn Thema : Menyikapi Radikalisme Agama-Agama di Bumi Pancasila (dr Perspektif Hindu), 15 Mei 2012.

Leave a comment

Filed under Articles

Leave a comment